
(Mahasiswi Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam)
Duhai sejuknya, memandang wajahmu.
Senyum kesabaranmu mampu meluluhkan batu karang yang ada dihatiku, menyadarkanku.
Sajak-sajakmu menerobos masuk dan meruntuhkan dinding baja yang ada dipikiranku.
Bersamamu, lautan cinta ku selami, hujan badai ku lewati, ridho Ilahi yang ku cari.
Salam takdzim, Guruku.
Puisi di atas adalah ungkapan cinta kasih seorang murid kepada gurunya (santri pada kyainya). Apakah terkesan berlebihan ? oke sampai sini, mari perkenalan dulu.
Salam santri, saya adalah salah satu ‘orang’(tentunya santri bukan pencuri hati) dari ribuan santri dan mahasantri yang ada di Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet, Mojokerto, Jawa Timur. Tapi jangan keliru, saya bukan ingin memperkenalkan panjang lebar mengenai identitas diri sendiri, melainkan berbagi pengalaman saja. Dan tulisan ini dilatarbelakangi oleh pengalaman saya terkait belajar jarak jauh dengan guru/dosen di Pesantren.
Sebelum itu, sudah kita ketahui bersama; bahwa yang melatarbelakangi adanya pembelajaran jarak jauh ini adalah pandemi virus corona (covid-19). To the point, saya dan santri-santri lain sangat bimbang dengan adanya kondisi seperti ini. Pihak lembaga sudah menyiapkan jadwal pemulangan para santri pada saat itu, saya sendiri sangat terharu ketika pengajian subuh sebelum para santri pulang, yai mengatakan “Kalian akan dipulangkan nak, dan kami (pihak lembaga) akan mengantarkan kalian sampai ke tempat tujuan”. Keadaan yang tak kunjung membaik ini membisikan bahwa kepulangan akan berlangsung lama. Sebelum pulang, saya membayangkan betapa membosankannya berdiam dirumah dengan jangka waktu yang cukup panjang.
Ternyata kekhawatiran saya tidak sepenuhnya benar, adanya daring ini membawa kesan tersendiri. Saya ini adalah salah satu mahasiswa di Institut KH. Abdul Chalim (IKHAC), lembaga ini masih satu naungan dengan Amanatul Ummah yang didirikan oleh Guru Besar kita; Prof. Dr. KH. Asep Saefuddin Chalim, MA. yang merupakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Perguruan Nahdlatul ‘Ulama (PP PERGUNU) dan beliau adalah putra dari salah satu pendiri NU yakni; KH. Abdul Chalim. Kami bersyukur bisa menjadi santrinya, dan sangat senang ketika mengaji langsung bersama beliau. SANTRI PULANG, BUKAN BERARTI NGAJI LIBUR, seriously sebuah kabar agak baik bagi kami (bukan apa-apa, signal dan kuota masing-masing menentukan baik buruknya kabar ini). Pengajian rutin gabungan seluruh santri setiap subuh ditayangkan langsung dari pondok pensanten (live streaming on youtube), tapi masih ada sebagian santri kok di pondok, mereka memilih bertahan dan mengaji bersama yai, sungguh luar biasa. Meskipun begitu, saya dan santri-santri lain yang pulang tetap bisa mengaji, walaupun rasanya berbeda karena tidak bertatap langsung dengan sang guru.
Di rumah, awalnya saya sempat ditegur oleh orang tua; karena pagi-pagi (ba’da subuh) bukannya mengaji malah main gawai. Hehe ibu bapak belum tahu kalau saya sebenarnya sedang mengaji; mengaji online. Pokok yang terjadi ibu bapak saya keliru karena hal tersebut, dan sepertinya judul tulisan ini pun sedikit membuat pembaca mengeryitkan dahi.
Bagaimana tidak ditegur; dari pagi-pagi sekali saya sudah serius mantengin gawai, lalu siang harinya; mulai pukul 14.00 s/d 19.00 saya kuliah daring. Sejauh ini laju pembelajaran saya sangat lancar dan signal pun mendukung, hingga saya bisa mengikuti berbagai kegiatan online; dari mulai mengaji online, kuliah daring, istighosah online, diskusi online dan mengikuti kegiatan produktif seperti menulis pengalaman belajar jarak jauh ini. Saya rasa, adanya pembelajaran online ini menjadi indikasi bahwa teknologi sudah berkembang sangat pesat. Meski keadaan mendesak kita untuk tidak berinteraksi secara langsung, media; gawai, laptop dan penunjang lain seperti internet sangat membantu kita dalam hal komunikasi.
Kembali ke daring, selain mengaji jarak jauh, IKHAC juga tetap menjalani perkuliahan. And then, kami belajar melalui berbagai aplikasi seperti; Zoom, Google Clashroom dan WhatsApps Group. Saya pun menemukan kesan tersendiri dari perkuliahan daring ini. Bagi saya IKHAC adalah miniatur dari Indonesia, dimana mahasiswanya berasal dari berbagai daerah se-Indonesia (dari mulai Sabang sampai Merauke) ‘bahkan luar negeri’. Tentunya saya memiliki beragam teman dari berbagai latar belakang. Kalian tahu ? saat pembelajaran berlangsung sering kali teman-teman saya ‘mengejutkan’ dengan keadaan mereka di seberang sana; dari mulai daring di atas pohon, daring sambil melaut dan daring sambil beraktivitas unik lainnya, mungkin secara tekstual kondisi tersebut tidak begitu mengejutkan, tetapi bagi saya hal tersebut mengungkapkan kesan tersendiri. Saya terenyuh ketika mengetahui alasan mengapa mereka belajar sampai segitunya; ternyata menaiki pohon bukan tanpa alasan, keadaan sulit signal mendorong teman saya untuk melakukan hal tersebut. Lalu, belajar sambil melaut pun sudah ditoleransi oleh dosen, karena situasi teman saya memang mau tidak mau harus melaut (menangkap ikan) demi kebutuhan. Pengalaman saya sendiri sih tidak begitu antimainstream seperti teman-teman saya. Tetapi dari pengalaman yang berbeda, saya mendapat pelajaran yang berharga; situasi dan kondisi apapun tidak mematahkan semangat kami untuk menuntut ilmu. Pembelajaran ini berlangsung cukup lama, sampai kami pun menjalani Ujian Tengah Semester (UTS) via online. Kalau diceritakan rasanya lebih melelahkan dibanding kuliah offline; sehari 5 mata kuliah dengan tumpukan tugas yang membuat gadget kami ngebleng. Resiko belajar, mau tidak mau ya harus mau.
Lalu apa romantisnya semua itu ? kalian yang tidak merasakan, tidak akan tahu. Dengan adanya jarak, rindu tercipta. Jangan keliru, ini bukan persoalan roman ‘Romeo dan Juliet’. Guru dan murid pun memiliki ikatan emosional, kalian akan tahu jika pernah membaca kisah-kisah tentang cinta murid kepada mursyidnya (lihat buku-buku tasawuf). Bahkan guru-guru (dosen) saya di pondok mengatakan; “kali ini belajarnya nomor 2, yang terpenting saya bisa melihat kalian walaupun lewat gawai, setidaknya rasa rindu terobati”, senyum haru terus terpancar dari wajah kami. Begitu beratnya belajar jarak jauh (menahan rindu dengan tugas yang menumpuk). Dear corona, kolonial kalian membuat ikatan emosional kami semakin erat, terimakasih. Jadi untuk saat ini, jangan keliru ketika melihat kami senyum-senyum sendiri di depan gawai. Belajar jarak jauh itu romantis !